![]() |
Persepsi masyarakat terhadap kehidupan ekonomi sangat penting. (Foto : Freepik) |
Hallotangsel.com – Pilkada 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Walaupun semua calon yang bertarung di Pilkada 2020 rawan melakukan kecurangan, namun di masa pandemi covid-19, petahana (incumbent) adalah pihak yang diduga berpotensi mudah melakukan kecurangan.
Misalnya, manipulasi anggaran terkait penanganan pandemi COVID-19, atau memobilisasi aparatur birokrasi untuk memenangkan dirinya. Oleh karena itu, pengawasan secara ketat terhadap aktivitas politik dari para petahana sangat diperlukan.
Namun begitu, wajar jika petahana punya potensi besar memenangkan kompetisi Pilkada 2020, jika masyarakat di daerahnya mengapresiasi kinerja dan pembangunan yang dilakukan selama periode kepemimpinanya.
Sebaliknya, jika petahana tidak memiliki prestasi yang dirasakan langsung masyarakat di daerahnya, maka akan cenderung melakukan segala cara untuk memenangkan kontestasi, terutama dengan menggunakan anggaran dan jajaran birokrasi yang dipimpinnya.
Pencitraan politik di masa pandemi sebenarnya tidak banyak manfaatnya ketika masyarakat sudah paham dan punya pandangan terhadap kinerja dari para petahana.
Apalagi jika hal itu terkait dengan problem keselarasan antara janjinya dulu dengan kenyataan selama menjabat. Pertanyaan mudahnya: apakah kebijakan petahana selama menjabat membuat hidup masyarakat di daerahnya menjadi lebih baik?
Persepsi masyarakat terhadap kehidupan ekonomi sangat penting. Jika baik, petahana lolos, jika buruk paslon lain akan take over.
Di masa pandemi, isu ekonomi masyarakat (kesejahteraan) bisa sebabkan petahana game over (tumbang). Popularitas petahana yang relatif tinggi, akan sia-sia jika tingkat kesukaan publik (likeability) di wilayahnya rendah karena merosotnya kehidupan ekonomi.
Kondisi pandemi Covid-19 menyediakan peluang dan ruang berbagai penyelewengan berikut praktik politik uang pada pelaksanaan Pilkada 2020 karena tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat.
Tidak hanya petahana, politik uang bisa dilakukan oleh semua paslon kompetitor yang berlaga di Pilkada 2020. Potensi pelanggaran paling anyar di Pilkada 2020 di masa pandemik, contohnya juga terkait pembagian masker yang bergambar pasangan calon.
Namun petahana rentan melakukan kecurangan karena diasumsikan berpeluang memanfaatkan struktur pemerintah di daerahnya sampai tingkat yang paling rendah.
Pemberian bansos di masa pandemi Covid-19 juga tidak mungkin dihentikan karena pesta Pilkada 2020, walaupun ada kekhawatiran pemberian bansos akan menguntungkan calon petahana untuk sarana kampanye – dengan menempelkan foto bersama pasangannya waktu membagikannya.
Prinsip keadilan dalam kontestasi dan kompetisi di Pilkada 2020 harus benar-benar di pertimbangkan. Faktanya tanpa promosi petahana (incumbent) memang relatif lebih diuntungkan.
Sementara kompetitor butuh usaha lebih keras untuk mengenalkan diri kepada masyarakat. Dalam proses pengenalan kepada masyarakat, kompetitor biasanya terhambat aturan menjaga jarak dan menghindari terciptanya kerumunan.
Penyaluran program bansos bisa menjadi kompetisi yang kurang fair bagi para pesaing petahana karena ketiadaan akses terhadap distribusi bantuan sosial. Kondisi ini tentu saja tidak berlaku di daerah yang tidak ada petahana ikut bertarung lagi di Pilkada 2020.
Petahana juga punya peluang membangun kekuatan di lembaga penyelenggara Pilkada (KPUD dan Panwaslu). Independensi penyelenggara Pilkada sangatlah penting agar tidak mencetak kertas suara melebihi ketentuan, merekayasa pemilih fiktif, atau bahkan mengubah dokumen C1 hasil penghitungan suara.
Bentuk pemalsuan data pemilih (fiktif) tersebut, misalnya seperti warga masyarakat yang tidak memenuhi syarat pemilih, tapi dipaksakan menjadi memenuhi syarat.
Caranya adalah merubah data identitas orang tersebut dengan mengubah kartu tanda penduduk (KTP) ataupun tanggal lahirnya, sehingga menjadi memenuhi syarat untuk memilih. Atau ada juga yang sebelumnya punya hak pilih, lalu sengaja dirubah menjadi tidak memiliki hak pilih.
Masalah lain pelaksanaan Pilkada 2020 di masa pandemi adalah terjadinya potensi penurunan partisipasi pemilih yang mau datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) akibat khawatir penularan virus covid.
Semakin rendah pemilih yang datang ke TPS, maka semakin tinggi terjadi potensi manipulasi suara dan kemungkinan penyalahgunaan kertas suara oleh aparat penyelenggara. Padahal persoalan pemutakhiran data pemilih sampai sekarang juga masih belum sepenuhnya akurat dan valid.
Misalnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Tasikmalaya ternyata kemarin menemukan sebanyak 29.175 calon pemilih yang sudah meninggal dunia masih masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pileg 2019.
Walaupun hal ini sudah dibantah oleh KPU (Komisi Pemilihan Umun), namun tetap saja temuan Bawaslu ini memprihatinkan – sebagai bagian dari persoalan klasik DPT (Daftar pemilih Tetap) yang tak pernah kunjung selesai dan sering menjadi ‘lubang mainan’, sengketa dan keadilan dalam praktek pemilu yang demokratis di Indonesia.
Oleh : Igor Dirgantara, Pengamat Politik Universitas Jayabaya, Director Survey & Polling Indonesia (SPIN).